Minggu, 15 Juni 2014

Lubuk Tajau Telah Merdeka



Penduduk Desa Lubuk Tajau segera menggelar syukuran atas menyalanya lampu bertenaga air yang populer disebut Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).  Banyak dari mereka masih kurang percaya bahwa jerih payah keringat dan uang yang mereka ‘investasikan’ selama ini berbuah nyata. Ya! Keberhasilan pembangunan PLTMH sangat bergantung pada swadaya yang mereka berikan berupa material lokal, tenaga dan uang. Sudah dua malam ini desa mereka terang sepanjang malam.  Hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi bahkan sejak Indonesia merdeka. Euforia kegembiraan masih kental terasa siang itu di bendungan intake PLTMH yang telah mereka bangun sendiri. Puluhan lemang dihidangkan.  Lemang adalah penganan khas dari ketan dicampur santan yang dibakar di dalam tabung bambu. Ayam bakar dan telur rebus menemaninya. Tentu tak lengkap tanpa tuak yang edarkan untuk diteguk secara bersama-sama.

 Membakar lemang
 
 Lemang dan lauk-pauk tanda syukur

Wajar jika penduduk desa menumpahkan kegembiraan mereka. Mengingat sejak awal program Kampung Energi yang di fasilitasi oleh Lembaga Energi Hijau mendapat tantangan dari sebagian mereka yang lebih menginginkan PLN hadir di sini. Baca : Pilih PLN atau PLTMH?. Ternyata pilihan mereka terhadap PLTMH akhirnya tepat jika melihat kenyataan bahwa hingga sekarangpun tidak ada kepastian dari berbagai pihak mengenai masuknya perusahan listrik negara tersebut di desa - entah sampai kapan.

Lubuk Tajau yang kini telah mandiri energi listrik merupakan salah satu dari ribuan pemukiman terpencil di Kalimantan Barat yang masih belum memiliki akses listrik negara.  Memilih PLTMH sebagai alternatif energi listrik harus mendapatkan prioritas dan dukungan dari semua pihak.  Apalagi jika dampak yang ditimbulkan oleh sebuah pembangunan PLTMH sangat menyentuh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat di perdesaan.  Baca : Kearifan Lokal Menuju Kemandirian Energi.
 
Menyalakan listrik menggunakan turbin air

Sekarang menjadi tugas seluruh penduduk desa untuk memastikan bahwa PLTMH yang telah berhasil dibangun mampu lestari beroperasi dan mendatangkan manfaat bagi mereka. Lestarinya PLTMH tentu bertumpu pada lestarinya air sebagai ‘bahan bakar’ utama penggerak generator 50 kV yang mereka miliki. Lestarinya air tidak terpisahkan dari lestarinya kawasan hutan sebagai pundi-pundi penyimpanan air di sepanjang musim. Sehingga slogan sederhana yang berbunyi  ‘Hutan Hilang – Air Pergi, Air Pergi – Listrik Mati’ akan dijadikan landasan dan tanpa disadari mereka telah menjadi relawan di barisan terdepan dalam upaya-upaya pelestarian hutan dan lingkungan.  Selamat menikmati malam-malam yang terang bagi seluruh penduduk desa Lubuk Tajau.  Semoga kehadiran PLTMH dapat lebih mensejahterakan dan membawa banyak harapan bagi semua pihak dan negeri ini.

Sabtu, 14 Juni 2014

Kearifan Lokal Menuju Kemandirian Energi

Di era globalisasi ini kebutuhan akan listrik sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sejalan dengan perkembangan sosial, budaya dan ekonomi serta informasi, energi listrik telah menjadi salah satu kebutuhan pokok. Ya! Tak dapat dipungkiri bahwa energi listrik mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial dan ekonomi.

Namun kemampuan Negara melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN), untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh penduduk Indonesia adalah problem lama yang sepertinya juga akan lama untuk penyelesaiannya. Dibatasi dengan kapasitas listrik yang tersedia ditambah dengan rentang jarak dan tofografi pemukiman penduduk, alhasil hingga saat ini masih ada 10.211 desa di republik ini yang sama sekali belum mencicipi hangatnya listrik negara (Detik.com 13/6/13). Di sisi lain Indonesia secara umum mememenuhi kebutuhan energi listrik dari minyak bumi dan batu bara, dengan persediaan yang semakin menipis dan harga yang semakin tinggi dapat dikatakan bahwa hal ini berpeluang  pada terjadinya krisis energi.

Salah satu sudut desa terpencil tanpa akses listrik negara

Sebenarnya ada banyak pilihan bagi desa-desa yang belum menikmati listrik PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka sendiri.  Dan yang paling mudah adalah dengan genset (generator set) bertenaga diesel. Alat peminum solar ini tidak sulit diperoleh di pasar manapun hingga di kecamatan terpencil. Meskipun akhirnya mereka mendapatkan listrik, namun kemudahan ini harus diimbali dengan tidak murah. Selain hanya golongan masyarakat yang mampu saja yang membeli, harga BBM solar yang dapat mencapai hingga 3 (Tiga) kali lipat dari harga resmi SPBU otomatis akan berbuah pada biaya operasional yang mahal. Pun terkadang solar sulit didapat.  Sungguh ironis dengan kenyataan bahwa sebenarnya warga negara seperti merekalah yang paling berhak menerima subsidi BBM.  Alhasil untuk menghemat BBM, listrik hanya dinyalakan maksimal 2 atau 3 jam setiap malamnya.  Walau kenyataannya lebih banyak mereka menjalani malam dalam kegelapan sebab tak mampu membeli solar atau solar ‘menghilang’.

Maka adanya alternatif penyediaan energi listrik bagi masyarakat perdesaan adalah keniscayaan. Dan energi alternatif yang patut di kembangkan adalah PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang memanfaatkan sumber daya alam berupa terjunan air. PLTMH dijadikan pilihan karena rerata pemukiman di daerah terpencil banyak memiliki potensi air. Memang biaya investasi untuk membangun PLTMH  berbanding dengan jumlah  penerima manfaat dirasakan mahal saat ini, sehingga banyak potensi yang belum termanfaatkan. Namun jika dikaji lebih jauh, biaya investasi tersebut sebenarnya memberikan hasil  yang tidak ternilai. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan akan terasa kecil dibandingkan dengan dampak yang begitu besar bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat penerima manfaat di perdesaan.

Potensi hidrolika yang masih termanfaatkan

Salah satu yang tidak dapat dipungkiri adalah kesadaran akan ketersediaan air sebagai sumber tenaga penggerak PLTMH.  Pemahaman akan kontinuitas air berbanding lurus dengan keharusan lestarinya hutan sebagai kawasan penyangga air telah berhasil merasuki pikiran mereka yang merasakan manfaat PLTMH.  Konservasi daerah aliran sungai secara sadar dilakukan demi menjamin debit air yang stabil sepanjang tahun. Pada beberapa tempat bahkan diterapkan aturan adat guna mengamankan kawasan hutan.  Memang adat terbukti efektif. Tidak ada lagi yang berani membuka lahan untuk berladang di kawasan konservasi bahkan untuk menebang sebatang pohon. Lahan terbuka bekas ladang lama segera dihutankan kembali. Meskipun begitu bukan berarti hutan menjadi terlarang untuk dimanfaatkan. Menggalakkan pemanfaatan hutan selain kayu atau yang populer disebut Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menjadi primadona. Hasil hutan seperti rotan, bambu, buah-buahan atau madu hingga perikanan air tawar yang selama ini kurang tergarap menjadi bernilai ekonomis karena dibarengi dengan pelatihan-pelatihan ketrampilan untuk memanfaatkannya.

Swadaya masyarakat diperlukan untuk menekan biaya pembangunan PLTMH. Material lokal seperti batu, pasir dan kayu diadakan secara gotong royong. Tenaga kerja diatur sedemikian rupa sehingga terbentuk kelompok-kelompok kerja yang akan turun secara bergiliran sehingga tidak akan mengganggu hari kerja mereka dalam mencari nafkah. Jangka waktu pembangunan PLTMH yang rerata berlangsung hingga 4 (empat) lamanya menjadikan swadaya sebagai perekat yang kuat bagi harmonisasi hubungan antar individu masyarakat. Seluruh pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, permasalahan dan kendala yang dihadapi dirembugkan dan dicari jalan pemecahannya secara bersama pula.  Keinginan untuk menyukseskan pembangunan PLTMH menjadi serentak pula. Kebersamaan sejak progress pekerjaan 0% hingga mencapai 100% berhasil pula merapatkan jejari hubungan sosial kemasyarakatan yang cenderung melonggar.

 Swadaya bersama untuk mencapai tujuan

Pengetahuan mengenai skema PLTMH perlahan mulai terpateri.  Sejak dari pembangunan bendungan intake, saluran pembawa, pipa pesat, turbin pembangkit listrik, rumah turbin, kabel transmisi listrik hingga instalasi listrik di dalam rumah semua dikerjakan oleh masyarakat dibawah bimbingan seorang tenaga ahli.  Tak terbayangkan sebelumnya bagi mereka bagaimana caranya membendung sungai yang deras.  Namun sekarang mereka memiliki ketrampilan tersebut.  Demilkian pula dengan hal-hal yang terkait dengan kelistrikan seperti memasang dan menyambung kabel secara benar dan aman.

PLTMH terbukti murah dalam pengoperasiannya, karena tidak memerlukan BBM. Listrik yang tersedia sepanjang waktu tentu memicu geliat kegiatan ekonomi produktif. Masyarakat setempat mendapatkan sumber listrik untuk mendukung akses informasi dan peningkatan ekonomi produktif rumah tangga. Hal ini akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat.  Dan tak kalah penting adalah penghematan yang cukup besar dengan digantikannya genset oleh PLTMH.  Jika hitung dari jumlah genset yang diistirahatkan maka rerata setiap desa penerima manfaat PLTMH berhasil menghemat solar sebanyak 3.000 liter per bulan.  Jika diuangkan dengan harga jual solar Rp. 14.000,- di desa ada Rp. 42.000.000,- perdesa setiap bulannya yang mampu di hemat. Pengeluaran yang berkurang untuk solar ini tentunya dapat dialokasikan untuk pendidikan atau kesehatan masyarakat. Selain berhasil menghemat BBM yang berarti turut mendukung program pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, PLTMH secara tidak langsung juga berhasil mengurangi polusi udara dan polusi suara yang ditimbulkan oleh genset selama ini.

Bahwa bagian terpenting dari keberhasilan pembangunan PLTMH justru terletak pada pelestariannya sangat dipahami oleh masyarakat. Terbentuknya badan pengelola PLTMH harus dipastikan untuk menjamin hal tersebut.  Badan Pengelola haruslah terdiri dari orang-orang pilihan dan dipilih sendiri oleh masyarakat. Pelatihan-pelatihan diberikan bahkan sejak pembangunan PLTMH baru dimulai. Keterampilan mengenai adminsitrasi hingga pengoperasian dan pemeliharaan PLTMH ditularkan secara permanen.  Aturan dan sanksi dibuat dan diterapkan bersama. Munculnya iuran merupakan konsekuensi bagi penerima manfaat listrik. Iuran yang terhimpun dipergunakan untuk biaya operasional seperti honor pengurus dan sisanya ditabung sebagai cadangan jika terjadi kerusakan pada skema PLTMH. Sehingga masyarakat menjadi mandiri dalam pengelolaan dan pelestarian PLTMH.

Hal lain yang tidak kalah penting dari semua yang tersebut di atas adalah kemandirian energi listrik mampu menumbuhkan rasa setara bagi masyarakat desa akan akses listrik yang murah. PLTMH turut membantu pemerintah bagi penyediaan listrik di daerah-daerah terpencil yang sulit terjangkau oleh PLN. Slogan “Hutan Hilang – Air Pergi, Air Pergi – Listrik Mati” menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat penerima manfaat untuk bergiat melakukan pelestarian hutan sebagai kawasan penyangga air.  PLTMH patut dipandang sebagai pintu masuk bagi upaya-upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan perlindungan lingkungan sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat.   Pembangunan PLTMH ternyata banyak memuat nilai-nilai kearifan lokal dan berhasil menjadikan desa sebagai basis energi listrik mandiri. Maka jika Pemerintah dan pihak peduli lainnya fokus membangun titik-titik basis energi listrik mandiri lainnya, permasalahan penyediaan listrik bagi daerah-daerah terpencil sepertinya akan dapat teratasi.