Jumat, 03 Oktober 2014

Kampung Energi

Harga BBM dan Elpiji bakal naik. Lagi. Salah satu dampaknya adalah ongkos menyalakan sebuah lampu menggunakan genset tenaga diesel berbahan bakar solar di sebuah desa terpencil dipastikan se-pacu-an dengan kenaikan tersebut. Bagi penduduk desa yang sebagian besar petani karet hal ini diperparah dengan anjloknya harga karet.  Maka membiarkan desa atau kampung dalam kegelapan malam adalah sebuah pilihan jika solar tidak terbeli. Kondisi di atas jamak terjadi di daerah-daerah yang tidak terjangkau akses listrik negara PLN. Penyebab terbesar adalah kondisi topografi pedalaman yang berbukit dan terpencil, selain dari ketersediaan daya listrik daerah yang belum memadai.

Tanpa harus pasrah dengan kondisi tersebut, menyediakan listrik murah dengan memanfaatkan  sumber energi baru dan terbarukan adalah sebuah keniscayaan. Mendesain sebuah kampung yang mampu memenuhi kebutuhan energi listrik secara mandiri bukanlah sebuah ketidakmungkinan. Banyaknya pilihan sumber daya alam yang dapat dijadikan energi listrik seperti tenaga matahari, tenaga air, tenaga angin, tenaga gelombang laut ataupun biogas adalah modal dasar yang tidak ternilai.

Salah satu energi alternatif yang patut di kembangkan adalah PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang memanfaatkan sumber daya alam berupa terjunan air. PLTMH dijadikan pilihan karena rerata pemukiman di daerah terpencil banyak memiliki potensi air. Memang biaya investasi untuk membangun PLTMH  berbanding dengan jumlah  penerima manfaat dirasakan mahal saat ini, sehingga banyak potensi yang belum termanfaatkan. Namun jika dikaji lebih jauh, biaya investasi tersebut sebenarnya memberikan hasil  yang tidak ternilai. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan akan terasa kecil dibandingkan dengan dampak yang begitu besar bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat penerima manfaat di perdesaan.

Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kesadaran akan ketersediaan air sebagai sumber tenaga penggerak PLTMH.  Pemahaman akan kontinuitas air berbanding lurus dengan keharusan lestarinya hutan sebagai kawasan penyangga air telah berhasil merasuki pikiran mereka yang merasakan manfaat PLTMH.  Konservasi daerah aliran sungai secara sadar dilakukan demi menjamin debit air yang stabil sepanjang tahun. Pada beberapa tempat bahkan diterapkan aturan adat guna mengamankan kawasan hutan.  Memang adat terbukti efektif. Tidak ada lagi yang berani membuka lahan untuk berladang di kawasan konservasi bahkan untuk menebang sebatang pohon. Lahan terbuka bekas ladang lama segera dihutankan kembali. Meskipun begitu bukan berarti hutan menjadi terlarang untuk dimanfaatkan. Menggalakkan pemanfaatan hutan selain kayu atau yang populer disebut Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menjadi primadona. Hasil hutan seperti rotan, bambu, buah-buahan atau madu hingga perikanan air tawar yang selama ini kurang tergarap menjadi bernilai ekonomis karena dibarengi dengan pelatihan-pelatihan ketrampilan untuk memanfaatkannya.

Hal lain yang tidak kalah penting dari semua yang tersebut di atas adalah kemandirian energi listrik mampu menumbuhkan rasa setara bagi masyarakat desa akan akses listrik yang murah. PLTMH turut membantu pemerintah bagi penyediaan listrik di daerah-daerah terpencil yang sulit terjangkau oleh PLN. Slogan “Hutan Hilang – Air Pergi, Air Pergi – Listrik Mati” menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat penerima manfaat untuk bergiat melakukan pelestarian hutan sebagai kawasan penyangga air.  PLTMH patut dipandang sebagai pintu masuk bagi upaya-upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan perlindungan lingkungan sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat.   

Berangkat dari hal tersebut di atas, maka Lembaga Energi Hijau meng-inisiasi Program "Kampung Energi".  Program yang bertumpu pada kemandirian masyarakat ini menyandarkan sebagian besar biaya pembangunan PLTMH pada swadaya masyarakat.

Kawasan Kampung Energi

Swadaya masyarakat diperlukan untuk menekan biaya pembangunan PLTMH. Material lokal seperti batu, pasir dan kayu diadakan secara gotong royong. Tenaga kerja diatur sedemikian rupa sehingga terbentuk kelompok-kelompok kerja yang akan turun secara bergiliran sehingga tidak akan mengganggu hari kerja mereka dalam mencari nafkah. Jangka waktu pembangunan PLTMH yang biasanya berlangsung hingga 4 (empat) lamanya menjadikan swadaya sebagai perekat yang kuat bagi harmonisasi hubungan antar individu masyarakat. Seluruh pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, permasalahan dan kendala yang dihadapi dirembugkan dan dicari jalan pemecahannya secara bersama pula.  Keinginan untuk menyukseskan pembangunan PLTMH menjadi serentak pula. Kebersamaan sejak progress pekerjaan 0% hingga mencapai 100% berhasil pula merapatkan jejari hubungan sosial kemasyarakatan yang cenderung melonggar.

Ketika program "Kampung Energi" memuat nilai-nilai kearifan lokal dan memproyeksikan kampung sebagai basis energi listrik mandiri, maka jika Pemerintah dan pihak peduli lainnya mampu membangun "Kampung-kampung Energi" sebagai basis-basis energi listrik mandiri, permasalahan penyediaan listrik bagi daerah-daerah terpencil lambat laun sepertinya akan dapat teratasi.  Semoga!