Laman

Rabu, 21 November 2012

Alat Musik Dari Sampah Kreasi Dodong Kadir

“Bandung itu terkenal dengan kreatifitasnya. Segala bentuk kreatifitas ada pokoknya di Bandung mah.”
Kalimat itu terlontar dari mulut Dodong Kodir (60) ketika ditanya pendapatnya mengenai Kota Kembang, Bandung. Memang tak bisa dipungkiri jika Bandung adalah salah satu kota yang melahirkan banyak seniman besar. Sebut saja Harry Roesli, Didi Petet, Heri Dhim, Adang Ismed, hingga Dodong Kodir.
Mungkin Anda bertanya-tanya siapa nama yang terakhir disebut itu? Dodong Kodir adalah seorang seniman musik asal Bandung yang bisa dibilang unik dan kreatif. Keunikannya yaitu alat-alat musik yang dimainkannya adalah buatan sendiri yang berasal dari sampah atau limbah.
Dodong Kodir, seniman pembuat alat musik dari sampahKekreatifan Dodong membuat alat-alat musik yang berasal dari limbah ini diawali dengan rasa kepeduliannya terhadap lingkungan.
“Apalagi dulu Bandung sempat terkenal dengan lautan sampah karena sampah yang menumpuk di mana-mana,” ungkap Dodong.
Kepeduliannya terhadap lingkungan itu dia tuangkan dengan mendaur ulang sendiri sampah-sampah yang ada yang kemudian dijadikan alat musik. Selain itu, sejak kecil ia memang tertarik dengan segala bentuk bunyi-bunyian. Walaupun ia disekolahkan di sekolah teknik, tetapi jiwanya tetap haus akan seni. Peralatan-peralatan yang harusnya dipraktekan untuk disiplin ilmu bidang kajian elektro malah dia manfaatkan untuk memainkan bunyi-bunyian.
Alat-alat musik Dodong menghasilkan suara-suara bernuansa alam. Misalnya, gelegar halilintar, tornado, tsunami, gemuruh longsor, dan bunyi alam lainnya. Beragam suara binatang pun dimiliki berkat bersahabat dengan sampah. Di antaranya, suara kodok, cecak, ayam, jutaan lalat terbang, monyet, gajah, macan, dan hewan lainnya. Dodong menuturkan, setiap hasil karyanya menyimpan cerita tersendiri. Misalnya, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh tahun 2004, ia menciptakan alat musik yang bunyinya seperti bunyi ombak di pantai. Kemudian Piala Dunia di Afrika Selatan tahun 2010 lalu menginspirasinya untuk membuat alat yang berbunyi seperti auman singa.
“Awalnya ingin mencari sesuatu yang baru, setelah sekian lama berkutat dengan gamelan. Di sisi lain, ada kebutuhan suara alam tanpa harus membeli alatnya di toko musik. Jadi kita ciptakan saja dengan kreasi sendiri,’’ pikirnya saat itu.
Maka mulailah dia mengulik dari bahan limbah apa pun kecuali kertas dan daun. Ibaratnya, sampah siap dilempar ke pembuangan, Dodong akan segera menyelamatkan. Contoh kecil saja, bekas alat cukur kumis-janggut dari bahan plastik diutak-atik menghasil kan suara cecak dan kodok. Di tangan Dodong, kaleng bekas rokok digesek dengan kayu menghasilkan suara ‘kukuruyuk’ ayam.
Satu hal yang unik dari alat musik limbah buatan Dodong ini adalah namanya selalu diakhiri dengan “Dong”. Misal, untuk alat musik bass buatannya ia beri nama “Bassdong”. Ada juga “Alodo” alias “Alat Petik Dodong”, kemudian “Tornadong” yang bisa menghasilkan bunyi gemuruh tornado, dan lain sebagainya. Hal ini sengaja ia lakukan sebagai ciri khas bahwa alat musik tersebut adalah buatan dirinya.

Berkeliling Dunia
Hasil jerih payah, kreasi, dan inovasinya membuat alat musik dari sampah ternyata membawa berkah tersendiri bagi Dodong. Alat musik sampah buatannya ini telah membawanya berkeliling ke berbagai negara di dunia. Mulai dari tahun 1996 bersama Heri Dhim ia mengikuti sebuah pameran di Kopenhagen, Denmark. Kemudian, masih di tahun yang sama, ia tampil di sebuah acara teater musikal tiga negara, yaitu Jepang, Indonesia, dan Filipina, di Jepang.
Tahun 2005 ia berkesempatan mengunjungi negeri para dewa, Yunani untuk tampil dalam sebuah festival wayang. Kemudian tahun 2006 ia berpartisipasi dalam acara “100 Tahun Karya Mozart” yang diselenggarakan oleh UNESCO di Paris, Perancis. Kepiawannya memainkan alat musik sampah ini membawanya satu panggung dengan musisi etnik kelas dunia.
“Saya satu-satunya perwakilan dari Indonesia saat itu,” kenang mantan karyawan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini.
Kemudian pada tahun 2008, ia mengikuti festival wayang “The First International Marionette Festival” yang bertempat di Vietnam. Masih di tahun yang sama, ia kemudian melawat ke Siprus untuk mengikuti festival wayang lainnya. Tahun 2009, ia menginjakkan kakinya di negeri matador, Spanyol. Kali ini ia berpartisipasi dalam sebuah festival yang bertajuk “Festival Internacional de Titeres de Canaries” yang diselenggarakan di kota Madrid.
Lawatan terakhirnya ke luar negeri adalah pada saat ia mengunjungi Belgia tahun 2009. Saat itu ia dating bersama rombongan, yang diketuai Didi Petet. Selain memperkenalkan kebudayaan Indonesia seperti batik, kegiatan itu juga bertujuan untuk mengenang Rendra. Selain itu, mereka juga mencari dana bantuan untuk korban bencana gempa di Sumatera Barat.
Beberapa alat musik sampah karya Dodong banyak yang sudah disimpan di museum ternama di luar negeri seperti di Siprus, Spanyol, hingga Meksiko. Sebenarnya Dodong pun ingin membuat sebuah museum di Bandung untuk menyimpan karya-karyanya yang sekarang jumlahnya sudah lebih dari 100 buah itu. Sayang sekali, biaya selalu menjadi kendala. Saat ini alat-alat musiknya sendiri disimpan di rumahnya di Cisitu Lama, Bandung.
“Saya ingin membuat museum berisi karya-karya Dodong. Jadi bukan cuma lukisan saja yang bisa disimpan di museum, alat musik juga bisa,” ungkap ayah dari tiga orang putri ini.
Kecintaan Dodong pada musik dan alat musiknya memang sudah mendarah daging. Sampai-sampai Harry Roesli pernah berkata padanya,
Maneh mah geus kawin jeung runtah, tuluykeun Dong (Kamu sudah seperti menikah dengan sampah itu, lanjutkan Dong),”
Dodong Kodir mungkin bukan satu-satunya seniman nyentrik dari Bandung atau Indonesia. Tetapi kreasinya mendaur ulang sampah menjadi alat musik hingga bisa membawanya berkeliling dunia patut diacungi jempol. Anda tertarik mengikuti jejaknya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar