Terletak di sekitar kompleks Bukit Kelam Kabupaten Sintang, Rumah Betang Ensaid Panjang di Dusun Rentap Selatan hingga saat ini belum menikmati akses listrik PLN. Selain dikarenakan lokasi yang lumayan terpencil, bisa jadi kapasitas listrik PLN di Kabupaten Sintang belum mencukupi untuk penambahan sambungan listrik baru.
Rumah Betang (sebutan untuk rumah adat di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), merupakan rumah yang dihuni oleh masyarakat Dayak. Rumah betang mempunyai ciri-ciri yaitu; bentuk panggung dan memanjang yang disekat-sekat dan dapat menampung ratusan jiwa. Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah panjang bagian hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya kearah matahari terbenam, sebagai simbol kerja-keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari tumbuh dan pulang ke rumah di matahari padam.(wikipedia)
Untuk memenuhi kebutuhan akan listrik, sebanyak 28 KK warga Rumah Betang Ensaid Panjang selama ini mengandalkan mesin genset bertenaga diesel. Mereka bisa menghabiskan 8 liter solar untuk menyalakan listrik selama 4 jam dalam semalam. Biasanya genset dinyalakan pukul 6 waktu setempat dan sudah dipadamkan pada pukul 10 malam untuk menghemat biaya. Selebihnya Rumah Betang selalu berada dalam kegelapan.
Namun akhir-akhir ini solar sangat sulit didapat, kalaupun ada harganya bisa mencapai 3 kali lipat dari harga resmi di SPBU, sehingga 'jatah' menyala mesin genset yang semula 4 jam tinggal setengahnya saja. Pun kadang-kadang jika solar 'tidak ditemukan' maka rumah betang akan bergelap ria. Hal ini membuat risau pak Ilong, salah sorang penghuni rumah betang. Dia ingin agar rumah betang dapat terus menerus dialiri listrik, sehingga anak-anak dapat belajar dengan tenang di malam hari, bapak-bapak senantiasa mendapatkan informasi berita atau hiburan melalui TV dan ibu-ibu dapat menenun kain walau pada malam hari.
Melalui Lembaga Energi Hijau, Pak Ilong mengetahui bahwa listrik dapat dihasilkan dari air mengalir yang mempunyai beda tinggi yang cukup. Kebetulan di dekat rumah betang mereka mengalir air terjun yang airnya tidak pernah kering walau dimusim kemarau. Pak ilong pun meminta Lembaga Energi Hijau untuk melakukan studi kelayakan terhadap sumber air. Akhirnya didapat data bahwa air yang bersumber di Telaga Surat tersebut dengan ketinggian 38 meter, dapat membangkitkan turbin listrik hingga 17.000 Watt. Kapasitas listrik sebesar itu tentunya mencukupi kebutuhan listrik di rumah betang. Listrik nantinya dihasilkan oleh generator yang diputar turbin type crossflow bertenaga air. Pembangkit listrik ini biasa disebut sebagai PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Mengetahui hal ini, Pak Ilong berikut warga rumah betang siap mendukung pembangunan PLTMH di wilayah mereka.
Jika pembangunan PLTMH dapat terwujud, maka banyak keuntungan yang didapat. Selain ramah lingkungan karena menggunakan energi terbarukan berupa air, warga rumah betang nantinya akan mampu menghemat penggunaan solar hingga 8 liter x 30 hari = 240 liter solar perbulan. Jika harga solar ditempat sekitar Rp. 8.000,- maka akan ada penghematan sebesar Rp. 1.920.000,- perbulan. Dana sebesar itu tentunya dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain seperti pendidikan atau kesehatan.
Dengan 'diistirahatkannya' mesin diesel karena telah digantikan oleh PLTMH, berarti tidak ada lagi polusi udara dan polusi suara. Warga rumah betang juga secara tidak langsung akan turut melestarikan kawasan hutan di lingkungan mereka, terutama dari ekspansi perkebunan sawit yang menggebu-gebu di wilayah sekitarnya. Dengan melestarikan hutan di kawasan mata air, berarti turut pula menjaga kelestarian air sebagai penggerak turbin listrik. Ini juga berarti banyak pohon Tengkawang (Shorea spp.), Durian (Durio zibethinus) dan Lengkeng Hutan (Dimocarpus longan) akan tetap berdiri. Aneka tanaman hutan seperti Kantong Semar dan beragam jenis anggrek hutan akan tetap berada di tempat tumbuhnya. Bahkan mungkin binatang seperti burung-burung dan kijang (Muntiacus muntjak) yang sudah sangat jarang terlihat karena seringnya diburu akan kembali berkembang biak di kawasan ini. (@beng)
Rumah Betang (sebutan untuk rumah adat di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), merupakan rumah yang dihuni oleh masyarakat Dayak. Rumah betang mempunyai ciri-ciri yaitu; bentuk panggung dan memanjang yang disekat-sekat dan dapat menampung ratusan jiwa. Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah panjang bagian hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya kearah matahari terbenam, sebagai simbol kerja-keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari tumbuh dan pulang ke rumah di matahari padam.(wikipedia)
Rumah Betang Ensaid Panjang
Untuk memenuhi kebutuhan akan listrik, sebanyak 28 KK warga Rumah Betang Ensaid Panjang selama ini mengandalkan mesin genset bertenaga diesel. Mereka bisa menghabiskan 8 liter solar untuk menyalakan listrik selama 4 jam dalam semalam. Biasanya genset dinyalakan pukul 6 waktu setempat dan sudah dipadamkan pada pukul 10 malam untuk menghemat biaya. Selebihnya Rumah Betang selalu berada dalam kegelapan.
Namun akhir-akhir ini solar sangat sulit didapat, kalaupun ada harganya bisa mencapai 3 kali lipat dari harga resmi di SPBU, sehingga 'jatah' menyala mesin genset yang semula 4 jam tinggal setengahnya saja. Pun kadang-kadang jika solar 'tidak ditemukan' maka rumah betang akan bergelap ria. Hal ini membuat risau pak Ilong, salah sorang penghuni rumah betang. Dia ingin agar rumah betang dapat terus menerus dialiri listrik, sehingga anak-anak dapat belajar dengan tenang di malam hari, bapak-bapak senantiasa mendapatkan informasi berita atau hiburan melalui TV dan ibu-ibu dapat menenun kain walau pada malam hari.
Air Terjun Telaga Surat
Melalui Lembaga Energi Hijau, Pak Ilong mengetahui bahwa listrik dapat dihasilkan dari air mengalir yang mempunyai beda tinggi yang cukup. Kebetulan di dekat rumah betang mereka mengalir air terjun yang airnya tidak pernah kering walau dimusim kemarau. Pak ilong pun meminta Lembaga Energi Hijau untuk melakukan studi kelayakan terhadap sumber air. Akhirnya didapat data bahwa air yang bersumber di Telaga Surat tersebut dengan ketinggian 38 meter, dapat membangkitkan turbin listrik hingga 17.000 Watt. Kapasitas listrik sebesar itu tentunya mencukupi kebutuhan listrik di rumah betang. Listrik nantinya dihasilkan oleh generator yang diputar turbin type crossflow bertenaga air. Pembangkit listrik ini biasa disebut sebagai PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Mengetahui hal ini, Pak Ilong berikut warga rumah betang siap mendukung pembangunan PLTMH di wilayah mereka.
Jika pembangunan PLTMH dapat terwujud, maka banyak keuntungan yang didapat. Selain ramah lingkungan karena menggunakan energi terbarukan berupa air, warga rumah betang nantinya akan mampu menghemat penggunaan solar hingga 8 liter x 30 hari = 240 liter solar perbulan. Jika harga solar ditempat sekitar Rp. 8.000,- maka akan ada penghematan sebesar Rp. 1.920.000,- perbulan. Dana sebesar itu tentunya dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain seperti pendidikan atau kesehatan.
Dengan 'diistirahatkannya' mesin diesel karena telah digantikan oleh PLTMH, berarti tidak ada lagi polusi udara dan polusi suara. Warga rumah betang juga secara tidak langsung akan turut melestarikan kawasan hutan di lingkungan mereka, terutama dari ekspansi perkebunan sawit yang menggebu-gebu di wilayah sekitarnya. Dengan melestarikan hutan di kawasan mata air, berarti turut pula menjaga kelestarian air sebagai penggerak turbin listrik. Ini juga berarti banyak pohon Tengkawang (Shorea spp.), Durian (Durio zibethinus) dan Lengkeng Hutan (Dimocarpus longan) akan tetap berdiri. Aneka tanaman hutan seperti Kantong Semar dan beragam jenis anggrek hutan akan tetap berada di tempat tumbuhnya. Bahkan mungkin binatang seperti burung-burung dan kijang (Muntiacus muntjak) yang sudah sangat jarang terlihat karena seringnya diburu akan kembali berkembang biak di kawasan ini. (@beng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar