“Bandung itu terkenal dengan kreatifitasnya. Segala bentuk kreatifitas ada pokoknya di Bandung mah.”
Kalimat itu terlontar dari mulut Dodong Kodir (60) ketika ditanya
pendapatnya mengenai Kota Kembang, Bandung. Memang tak bisa dipungkiri
jika Bandung adalah salah satu kota yang melahirkan banyak seniman
besar. Sebut saja Harry Roesli, Didi Petet, Heri Dhim, Adang Ismed,
hingga Dodong Kodir.
Mungkin Anda bertanya-tanya siapa nama yang terakhir disebut itu?
Dodong Kodir adalah seorang seniman musik asal Bandung yang bisa
dibilang unik dan kreatif. Keunikannya yaitu alat-alat musik yang
dimainkannya adalah buatan sendiri yang berasal dari sampah atau limbah.
Kekreatifan Dodong membuat alat-alat musik yang berasal dari limbah ini diawali dengan rasa kepeduliannya terhadap lingkungan.
“Apalagi dulu Bandung sempat terkenal dengan lautan sampah karena sampah yang menumpuk di mana-mana,” ungkap Dodong.
Kepeduliannya terhadap lingkungan itu dia tuangkan dengan mendaur
ulang sendiri sampah-sampah yang ada yang kemudian dijadikan alat musik.
Selain itu, sejak kecil ia memang tertarik dengan segala bentuk
bunyi-bunyian. Walaupun ia disekolahkan di sekolah teknik, tetapi
jiwanya tetap haus akan seni. Peralatan-peralatan yang harusnya
dipraktekan untuk disiplin ilmu bidang kajian elektro malah dia
manfaatkan untuk memainkan bunyi-bunyian.
Alat-alat
musik Dodong menghasilkan suara-suara bernuansa alam. Misalnya, gelegar
halilintar, tornado, tsunami, gemuruh longsor, dan bunyi alam lainnya.
Beragam suara binatang pun dimiliki berkat bersahabat dengan sampah. Di
antaranya, suara kodok, cecak, ayam, jutaan lalat terbang, monyet,
gajah, macan, dan hewan lainnya. Dodong menuturkan, setiap hasil
karyanya menyimpan cerita tersendiri. Misalnya, ketika terjadi bencana
tsunami di Aceh tahun 2004, ia menciptakan alat musik yang bunyinya
seperti bunyi ombak di pantai. Kemudian Piala Dunia di Afrika Selatan
tahun 2010 lalu menginspirasinya untuk membuat alat yang berbunyi
seperti auman singa.
“Awalnya ingin mencari sesuatu yang baru, setelah sekian lama
berkutat dengan gamelan. Di sisi lain, ada kebutuhan suara alam tanpa
harus membeli alatnya di toko musik. Jadi kita ciptakan saja dengan
kreasi sendiri,’’ pikirnya saat itu.
Maka mulailah dia mengulik dari bahan limbah apa pun kecuali kertas
dan daun. Ibaratnya, sampah siap dilempar ke pembuangan, Dodong akan
segera menyelamatkan. Contoh kecil saja, bekas alat cukur kumis-janggut
dari bahan plastik diutak-atik menghasil kan suara cecak dan kodok. Di
tangan Dodong, kaleng bekas rokok digesek dengan kayu menghasilkan suara
‘kukuruyuk’ ayam.
Satu hal yang unik dari alat musik limbah buatan Dodong ini adalah
namanya selalu diakhiri dengan “Dong”. Misal, untuk alat musik bass
buatannya ia beri nama “Bassdong”. Ada juga “Alodo” alias “Alat Petik
Dodong”, kemudian “Tornadong” yang bisa menghasilkan bunyi gemuruh
tornado, dan lain sebagainya. Hal ini sengaja ia lakukan sebagai ciri
khas bahwa alat musik tersebut adalah buatan dirinya.
Berkeliling Dunia
Hasil jerih payah, kreasi, dan inovasinya membuat alat musik dari
sampah ternyata membawa berkah tersendiri bagi Dodong. Alat musik sampah
buatannya ini telah membawanya berkeliling ke berbagai negara di dunia.
Mulai dari tahun 1996 bersama Heri Dhim ia mengikuti sebuah pameran di
Kopenhagen, Denmark. Kemudian, masih di tahun yang sama, ia tampil di
sebuah acara teater musikal tiga negara, yaitu Jepang, Indonesia, dan
Filipina, di Jepang.
Tahun 2005 ia berkesempatan mengunjungi negeri para dewa, Yunani
untuk tampil dalam sebuah festival wayang. Kemudian tahun 2006 ia
berpartisipasi dalam acara “100 Tahun Karya Mozart” yang diselenggarakan
oleh UNESCO di Paris, Perancis. Kepiawannya memainkan alat musik sampah
ini membawanya satu panggung dengan musisi etnik kelas dunia.
“Saya satu-satunya perwakilan dari Indonesia saat itu,” kenang mantan
karyawan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini.
Kemudian pada tahun 2008, ia mengikuti festival wayang “The First
International Marionette Festival” yang bertempat di Vietnam. Masih di
tahun yang sama, ia kemudian melawat ke Siprus untuk mengikuti festival
wayang lainnya. Tahun 2009, ia menginjakkan kakinya di negeri matador,
Spanyol. Kali ini ia berpartisipasi dalam sebuah festival yang bertajuk
“Festival Internacional de Titeres de Canaries” yang diselenggarakan di
kota Madrid.
Lawatan terakhirnya ke luar negeri adalah pada saat ia mengunjungi
Belgia tahun 2009. Saat itu ia dating bersama rombongan, yang diketuai
Didi Petet. Selain memperkenalkan kebudayaan Indonesia seperti batik,
kegiatan itu juga bertujuan untuk mengenang Rendra. Selain itu, mereka
juga mencari dana bantuan untuk korban bencana gempa di Sumatera Barat.
Beberapa alat musik sampah karya Dodong banyak yang sudah disimpan di
museum ternama di luar negeri seperti di Siprus, Spanyol, hingga
Meksiko. Sebenarnya Dodong pun ingin membuat sebuah museum di Bandung
untuk menyimpan karya-karyanya yang sekarang jumlahnya sudah lebih dari
100 buah itu. Sayang sekali, biaya selalu menjadi kendala. Saat ini
alat-alat musiknya sendiri disimpan di rumahnya di Cisitu Lama, Bandung.
“Saya ingin membuat museum berisi karya-karya Dodong. Jadi bukan cuma
lukisan saja yang bisa disimpan di museum, alat musik juga bisa,”
ungkap ayah dari tiga orang putri ini.
Kecintaan Dodong pada musik dan alat musiknya memang sudah mendarah daging. Sampai-sampai Harry Roesli pernah berkata padanya,
“Maneh mah geus kawin jeung runtah, tuluykeun Dong (Kamu sudah seperti menikah dengan sampah itu, lanjutkan Dong),”
Dodong Kodir mungkin bukan satu-satunya seniman nyentrik dari
Bandung atau Indonesia. Tetapi kreasinya mendaur ulang sampah menjadi
alat musik hingga bisa membawanya berkeliling dunia patut diacungi
jempol. Anda tertarik mengikuti jejaknya?