Di era globalisasi ini kebutuhan
akan listrik sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sejalan dengan perkembangan
sosial, budaya dan ekonomi serta informasi, energi listrik telah menjadi salah
satu kebutuhan pokok. Ya! Tak dapat dipungkiri bahwa energi listrik mempunyai
peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial dan ekonomi.
Namun kemampuan Negara melalui Perusahaan
Listrik Negara (PLN), untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh penduduk
Indonesia adalah problem lama yang sepertinya juga akan lama untuk
penyelesaiannya. Dibatasi dengan kapasitas listrik yang tersedia ditambah
dengan rentang jarak dan tofografi pemukiman penduduk, alhasil hingga saat ini
masih ada 10.211 desa di republik ini yang sama sekali belum mencicipi
hangatnya listrik negara (Detik.com
13/6/13). Di sisi lain Indonesia secara umum mememenuhi kebutuhan energi
listrik dari minyak bumi dan batu bara, dengan persediaan yang semakin menipis
dan harga yang semakin tinggi dapat dikatakan bahwa hal ini berpeluang pada terjadinya krisis energi.
Salah satu sudut desa terpencil tanpa akses listrik negara
Sebenarnya ada banyak pilihan
bagi desa-desa yang belum menikmati listrik PLN untuk memenuhi kebutuhan
listrik mereka sendiri. Dan yang paling
mudah adalah dengan genset (generator set) bertenaga diesel. Alat peminum solar
ini tidak sulit diperoleh di pasar manapun hingga di kecamatan terpencil. Meskipun
akhirnya mereka mendapatkan listrik, namun kemudahan ini harus diimbali dengan
tidak murah. Selain hanya golongan masyarakat yang mampu saja yang membeli, harga
BBM solar yang dapat mencapai hingga 3 (Tiga) kali lipat dari harga resmi SPBU
otomatis akan berbuah pada biaya operasional yang mahal. Pun terkadang solar
sulit didapat. Sungguh ironis dengan
kenyataan bahwa sebenarnya warga negara seperti merekalah yang paling berhak
menerima subsidi BBM. Alhasil untuk
menghemat BBM, listrik hanya dinyalakan maksimal 2 atau 3 jam setiap
malamnya. Walau kenyataannya lebih
banyak mereka menjalani malam dalam kegelapan sebab tak mampu membeli solar
atau solar ‘menghilang’.
Maka adanya alternatif penyediaan
energi listrik bagi masyarakat perdesaan adalah keniscayaan. Dan energi
alternatif yang patut di kembangkan adalah PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro) yang memanfaatkan sumber daya alam berupa terjunan air. PLTMH
dijadikan pilihan karena rerata pemukiman di daerah terpencil banyak memiliki
potensi air. Memang biaya investasi untuk membangun PLTMH
berbanding dengan jumlah
penerima manfaat dirasakan mahal saat ini,
sehingga banyak potensi yang belum termanfaatkan. Namun jika dikaji lebih jauh,
biaya investasi tersebut sebenarnya memberikan hasil
yang tidak ternilai. Dengan kata lain, biaya
yang dikeluarkan akan terasa kecil dibandingkan dengan dampak yang begitu besar
bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat penerima manfaat di perdesaan.
Potensi hidrolika yang masih termanfaatkan
Salah satu yang tidak dapat
dipungkiri adalah kesadaran akan ketersediaan air sebagai sumber tenaga
penggerak PLTMH. Pemahaman akan
kontinuitas air berbanding lurus dengan keharusan lestarinya hutan sebagai
kawasan penyangga air telah berhasil merasuki pikiran mereka yang merasakan
manfaat PLTMH. Konservasi daerah aliran
sungai secara sadar dilakukan demi menjamin debit air yang stabil sepanjang
tahun. Pada beberapa tempat bahkan diterapkan aturan adat guna mengamankan
kawasan hutan. Memang adat terbukti
efektif. Tidak ada lagi yang berani membuka lahan untuk berladang di kawasan
konservasi bahkan untuk menebang sebatang pohon. Lahan terbuka bekas ladang
lama segera dihutankan kembali. Meskipun begitu bukan berarti hutan menjadi
terlarang untuk dimanfaatkan. Menggalakkan pemanfaatan hutan selain kayu atau
yang populer disebut Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menjadi primadona. Hasil
hutan seperti rotan, bambu, buah-buahan atau madu hingga perikanan air tawar yang
selama ini kurang tergarap menjadi bernilai ekonomis karena dibarengi dengan
pelatihan-pelatihan ketrampilan untuk memanfaatkannya.
Swadaya masyarakat diperlukan
untuk menekan biaya pembangunan PLTMH. Material lokal seperti batu, pasir dan
kayu diadakan secara gotong royong. Tenaga kerja diatur sedemikian rupa
sehingga terbentuk kelompok-kelompok kerja yang akan turun secara bergiliran
sehingga tidak akan mengganggu hari kerja mereka dalam mencari nafkah. Jangka
waktu pembangunan PLTMH yang rerata berlangsung hingga 4 (empat) lamanya
menjadikan swadaya sebagai perekat yang kuat bagi harmonisasi hubungan antar
individu masyarakat. Seluruh pekerjaan dilakukan secara bersama-sama,
permasalahan dan kendala yang dihadapi dirembugkan dan dicari jalan
pemecahannya secara bersama pula.
Keinginan untuk menyukseskan pembangunan PLTMH menjadi serentak pula. Kebersamaan
sejak progress pekerjaan 0% hingga mencapai 100% berhasil pula merapatkan
jejari hubungan sosial kemasyarakatan yang cenderung melonggar.
Swadaya bersama untuk mencapai tujuan
Pengetahuan mengenai skema PLTMH
perlahan mulai terpateri. Sejak dari
pembangunan bendungan intake, saluran pembawa, pipa pesat, turbin pembangkit
listrik, rumah turbin, kabel transmisi listrik hingga instalasi listrik di
dalam rumah semua dikerjakan oleh masyarakat dibawah bimbingan seorang tenaga
ahli. Tak terbayangkan sebelumnya bagi
mereka bagaimana caranya membendung sungai yang deras. Namun sekarang mereka memiliki ketrampilan
tersebut. Demilkian pula dengan hal-hal
yang terkait dengan kelistrikan seperti memasang dan menyambung kabel secara
benar dan aman.
PLTMH terbukti murah dalam
pengoperasiannya, karena tidak memerlukan BBM. Listrik yang tersedia sepanjang
waktu tentu memicu geliat kegiatan ekonomi produktif. Masyarakat setempat
mendapatkan sumber listrik untuk mendukung akses informasi dan peningkatan
ekonomi produktif rumah tangga. Hal ini akan berdampak terhadap kesejahteraan
masyarakat yang terus meningkat. Dan tak
kalah penting adalah penghematan yang cukup besar dengan digantikannya genset
oleh PLTMH. Jika hitung dari jumlah
genset yang diistirahatkan maka rerata setiap desa penerima manfaat PLTMH berhasil
menghemat solar sebanyak 3.000 liter per bulan.
Jika diuangkan dengan harga jual solar Rp. 14.000,- di desa ada Rp.
42.000.000,- perdesa setiap bulannya yang mampu di hemat. Pengeluaran yang berkurang untuk solar ini
tentunya dapat dialokasikan untuk pendidikan atau kesehatan masyarakat. Selain
berhasil menghemat BBM yang berarti turut mendukung program pemerintah untuk
mengurangi subsidi BBM, PLTMH secara tidak langsung juga berhasil mengurangi
polusi udara dan polusi suara yang ditimbulkan oleh genset selama ini.
Bahwa bagian terpenting dari
keberhasilan pembangunan PLTMH justru terletak pada pelestariannya sangat
dipahami oleh masyarakat. Terbentuknya badan pengelola PLTMH harus dipastikan
untuk menjamin hal tersebut. Badan
Pengelola haruslah terdiri dari orang-orang pilihan dan dipilih sendiri oleh
masyarakat. Pelatihan-pelatihan diberikan bahkan sejak pembangunan PLTMH baru
dimulai. Keterampilan mengenai adminsitrasi hingga pengoperasian dan
pemeliharaan PLTMH ditularkan secara permanen.
Aturan dan sanksi dibuat dan diterapkan bersama. Munculnya iuran
merupakan konsekuensi bagi penerima manfaat listrik. Iuran yang terhimpun
dipergunakan untuk biaya operasional seperti honor pengurus dan sisanya
ditabung sebagai cadangan jika terjadi kerusakan pada skema PLTMH. Sehingga
masyarakat menjadi mandiri dalam pengelolaan dan pelestarian PLTMH.
Hal lain yang tidak kalah penting
dari semua yang tersebut di atas adalah kemandirian energi listrik mampu
menumbuhkan rasa setara bagi masyarakat desa akan akses listrik yang murah.
PLTMH turut membantu pemerintah bagi penyediaan listrik di daerah-daerah
terpencil yang sulit terjangkau oleh PLN. Slogan
“Hutan Hilang – Air Pergi, Air Pergi – Listrik Mati” menjadi alasan yang kuat
bagi masyarakat penerima manfaat untuk bergiat melakukan pelestarian hutan
sebagai kawasan penyangga air. PLTMH
patut dipandang sebagai pintu masuk bagi upaya-upaya pelestarian
keanekaragaman hayati dan perlindungan lingkungan sekaligus peningkatan ekonomi
masyarakat. Pembangunan PLTMH ternyata banyak memuat
nilai-nilai kearifan lokal dan berhasil menjadikan desa sebagai basis energi listrik
mandiri. Maka jika Pemerintah dan pihak peduli lainnya fokus membangun
titik-titik basis energi listrik mandiri lainnya, permasalahan penyediaan
listrik bagi daerah-daerah terpencil sepertinya akan dapat teratasi.