Senin, 31 Agustus 2015

Hutan Hilang, Air Pergi dan Listrik Pun Mati

Sesuai dengan namanya, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, maka air merupakan elemen penting dalam menjaga PLTMH itu tetap beroperasi. Dengan kata lain, air lah yang menjadi sumber utama untuk menciptakan aliran listrik dari pembangkit itu.

Sukses menyalakan aliran listrik bukanlah tujuan akhir pembangunan PLTMH Nuak. Tujuan akhirnya adalah bagaimana aliran listrik itu bisa terus menyala sepanjang waktu.

Seperti diketahui, PLTMH Nuak digerakkan oleh air Sungai Nuak. Sungai yang memiliki lebar sekitar 12 meter itu dibendung dan air dari bendungannya digunakan untuk memutar turbin yang selanjutnya dikonversikan menjadi aliran listrik dengan menggunakan turbin.

Pentingnya keberadaan air itu mengharuskan masyarakat untuk tetap menjaga agar air di Sungai Nuak tetap ada dan mengalir. Keberadaan air itu tentu saja berhubungan dengan masalah lingkungan di pehuluan Sungai Nuak.

Sungai Nuak sendiri memiliki panjang hingga puluhan kilometer. Daerah resapan sungainya menyebar hingga ke kawasan pengunungan yang termasuk dalam kawasan hutan lindung Gunung Naning. Saat ini, kawasan hutan lindung itu masih cukup asri. Tak heran jika sepanjang apa pun kemarau, air di Sungai Nuak masih tetap ada.

Untuk menjaga air itu tetap ada, pihak pengelola PLTMH Nuak pun menggandeng sebuah NGO yang berafiliasi dengan masalah lingkungan. NGO dimaksud adalah Lembaga Enegri Hijau (LEH). Pihak LEH ini lah yang selalu mondar mandir ke Nuak untuk memastikan keasrian kawasan hutan di Nuak, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) Nuak.

"Tugas kita adalah memberikan pengertian kepada masyarakat Nuak untuk tidak melakukan perambahan hutan di DAS Nuak," kata Abang Amirullah, Ketua Lembaga Energi Hijau Wilayah Kalbar kepada Rakyat Kalbar di Nuak, Jumat (21/8).

Menjaga kelestarian DAS Nuak memang bukan pekerjaan yang mudah. Masyakat di pedalaman, termasuk di kawasan Nuak yang umumnya bekerja di sektor pertanian sering mengandalkan sistem pertanian tradisional ladang berpindah.

Kawasan DAS Nuak yang masih terbilang asri, tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian petani ladang berpindah untuk membuka ladang. Maklum, keasrian hutan yang dibuka untuk areal ladang dengan cara dibakar merupakan salah satu jaminan bahwa ladang akan subur.

Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Lembaga Engeri Hijau. Mereka harus melakukan pendekatan kepada masyarakat agar tidak ada yang berladang di DAS Nuak karena bisa merusak hutan dan mengurangi debit air Sungai Nuak.

"Karenanya, kita harus melakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat. Menjaga hutan itu penting. Prinsip yang selalu kita tanamkan adalah 'Hutan Hilang, Air Pergi. Air Pergi, Listrik Mati'," kata Abeng, panggilan akrab Abang Amirullah.

Dengan upaya pendekatan yag intens, hingga sekarang keasrian hutan di kawasan DAS Nuak memang masih tetap terjaga hingga sekarang. Diharapkan keasrian hutan disana tetap terjaga sampai kapanpun. Tak hanya soal menjaga keasrian hutan, Lembaga Energi Hijau dibantu PNPM Kabupaten Sekadau juga ikut membimbing pengelola untuk memanage operasional PLTMH Nuak. Termasuk soal iuran biaya listrik yang tiap bulan dikutip dari pelanggan.

Menurut pihak pengelola, per bulan, income PLTMH Nuak dari iuran listrik pelanggan mencapai lebih dari Rp3 juta. Iuran itu dijadikan uang kas yang dipergunakan untuk menunjang operasional, juga untuk membeli peralatan mesin jika ada yang rusak.

Kesuksesan pembangunan pembangkit listrik itu kini tersebar ke seantaro Kabupaten Sekadau. Banyak daerah yang sekarang mengajukan pembuatan PLTMH sejenis.

Menurut Kepala Bidang Pertamabangan dan Energi Dinas PU dan Pertambangan Kabupaten Sekadau, Drs Nur Hasibuan, ada beberapa daerah di Kabupaten Sekadau yang juga menginginkan dibangun PLTMH. Namun karena keuangan yang APBD terbatas, maka tidak semua daerah bisa dibangun.

"Kita bangun secara bertahap. Fokus kita adalah daerah pedalaman yang memang belum terjangkau layanan listrik PLN," kata Hasibuan.

Sejauh ini, sedikitnya sudah ada 5 PLTMH yang dibangun di Sekadau. Pembangunan ini merupakan upaya untuk memerangi krisis listrik di daerah Sekadau, terutama di daerah pedalaman. PLTMH merupakan listrik murah dengan sumber energi terbarukan, sekaligus ramah lingkungan. (Abdu Syukri, Nuak)
Sumber : rkonline.id

Jumat, 03 Oktober 2014

Kampung Energi

Harga BBM dan Elpiji bakal naik. Lagi. Salah satu dampaknya adalah ongkos menyalakan sebuah lampu menggunakan genset tenaga diesel berbahan bakar solar di sebuah desa terpencil dipastikan se-pacu-an dengan kenaikan tersebut. Bagi penduduk desa yang sebagian besar petani karet hal ini diperparah dengan anjloknya harga karet.  Maka membiarkan desa atau kampung dalam kegelapan malam adalah sebuah pilihan jika solar tidak terbeli. Kondisi di atas jamak terjadi di daerah-daerah yang tidak terjangkau akses listrik negara PLN. Penyebab terbesar adalah kondisi topografi pedalaman yang berbukit dan terpencil, selain dari ketersediaan daya listrik daerah yang belum memadai.

Tanpa harus pasrah dengan kondisi tersebut, menyediakan listrik murah dengan memanfaatkan  sumber energi baru dan terbarukan adalah sebuah keniscayaan. Mendesain sebuah kampung yang mampu memenuhi kebutuhan energi listrik secara mandiri bukanlah sebuah ketidakmungkinan. Banyaknya pilihan sumber daya alam yang dapat dijadikan energi listrik seperti tenaga matahari, tenaga air, tenaga angin, tenaga gelombang laut ataupun biogas adalah modal dasar yang tidak ternilai.

Salah satu energi alternatif yang patut di kembangkan adalah PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang memanfaatkan sumber daya alam berupa terjunan air. PLTMH dijadikan pilihan karena rerata pemukiman di daerah terpencil banyak memiliki potensi air. Memang biaya investasi untuk membangun PLTMH  berbanding dengan jumlah  penerima manfaat dirasakan mahal saat ini, sehingga banyak potensi yang belum termanfaatkan. Namun jika dikaji lebih jauh, biaya investasi tersebut sebenarnya memberikan hasil  yang tidak ternilai. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan akan terasa kecil dibandingkan dengan dampak yang begitu besar bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat penerima manfaat di perdesaan.

Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kesadaran akan ketersediaan air sebagai sumber tenaga penggerak PLTMH.  Pemahaman akan kontinuitas air berbanding lurus dengan keharusan lestarinya hutan sebagai kawasan penyangga air telah berhasil merasuki pikiran mereka yang merasakan manfaat PLTMH.  Konservasi daerah aliran sungai secara sadar dilakukan demi menjamin debit air yang stabil sepanjang tahun. Pada beberapa tempat bahkan diterapkan aturan adat guna mengamankan kawasan hutan.  Memang adat terbukti efektif. Tidak ada lagi yang berani membuka lahan untuk berladang di kawasan konservasi bahkan untuk menebang sebatang pohon. Lahan terbuka bekas ladang lama segera dihutankan kembali. Meskipun begitu bukan berarti hutan menjadi terlarang untuk dimanfaatkan. Menggalakkan pemanfaatan hutan selain kayu atau yang populer disebut Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menjadi primadona. Hasil hutan seperti rotan, bambu, buah-buahan atau madu hingga perikanan air tawar yang selama ini kurang tergarap menjadi bernilai ekonomis karena dibarengi dengan pelatihan-pelatihan ketrampilan untuk memanfaatkannya.

Hal lain yang tidak kalah penting dari semua yang tersebut di atas adalah kemandirian energi listrik mampu menumbuhkan rasa setara bagi masyarakat desa akan akses listrik yang murah. PLTMH turut membantu pemerintah bagi penyediaan listrik di daerah-daerah terpencil yang sulit terjangkau oleh PLN. Slogan “Hutan Hilang – Air Pergi, Air Pergi – Listrik Mati” menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat penerima manfaat untuk bergiat melakukan pelestarian hutan sebagai kawasan penyangga air.  PLTMH patut dipandang sebagai pintu masuk bagi upaya-upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan perlindungan lingkungan sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat.   

Berangkat dari hal tersebut di atas, maka Lembaga Energi Hijau meng-inisiasi Program "Kampung Energi".  Program yang bertumpu pada kemandirian masyarakat ini menyandarkan sebagian besar biaya pembangunan PLTMH pada swadaya masyarakat.

Kawasan Kampung Energi

Swadaya masyarakat diperlukan untuk menekan biaya pembangunan PLTMH. Material lokal seperti batu, pasir dan kayu diadakan secara gotong royong. Tenaga kerja diatur sedemikian rupa sehingga terbentuk kelompok-kelompok kerja yang akan turun secara bergiliran sehingga tidak akan mengganggu hari kerja mereka dalam mencari nafkah. Jangka waktu pembangunan PLTMH yang biasanya berlangsung hingga 4 (empat) lamanya menjadikan swadaya sebagai perekat yang kuat bagi harmonisasi hubungan antar individu masyarakat. Seluruh pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, permasalahan dan kendala yang dihadapi dirembugkan dan dicari jalan pemecahannya secara bersama pula.  Keinginan untuk menyukseskan pembangunan PLTMH menjadi serentak pula. Kebersamaan sejak progress pekerjaan 0% hingga mencapai 100% berhasil pula merapatkan jejari hubungan sosial kemasyarakatan yang cenderung melonggar.

Ketika program "Kampung Energi" memuat nilai-nilai kearifan lokal dan memproyeksikan kampung sebagai basis energi listrik mandiri, maka jika Pemerintah dan pihak peduli lainnya mampu membangun "Kampung-kampung Energi" sebagai basis-basis energi listrik mandiri, permasalahan penyediaan listrik bagi daerah-daerah terpencil lambat laun sepertinya akan dapat teratasi.  Semoga!

Selasa, 12 Agustus 2014

Penghargaan Energi 2014 Oleh Kementerian ESDM

Indonesia dikenal sebagai negara kaya akan sumber energi fosil maupun non-fosil. Peran sumber energi fosil, khususnya minyak bumi, yang merupakan sumber energi tidak terbarukan, masih sangat dominan bahkan dalam berbagai aspek kehidupan belum tergantikan, sementara sumber daya dan cadangannya semakin menipis dari waktu ke waktu. Upaya Pemerintah yang sudah dan sedang digalakkan untuk mensubtitusi minyak bumi tersebut menggunakan gas alam dan batubara, meskipun pemanfaatannya belum optimal. Di sisi lain, sumber energi non-fosil atau sumber energi terbarukan tersedia dalam jumlah cukup banyak, tetapi belum dikelola secara optimal, sehingga belum mampu menggantikan energi fosil. 

Konsumsi yang terus meningkat sebagai dampak langsung dari pertumbuhan ekonomi dan tuntutan kesejahteraan masyarakat yang diharapkan membaik, serta kondisi sebagian masyarakat Indonesia yang masih boros dalam menggunakan energi, mendorong Pemerintah dalam kebijakannya untuk memprioritaskan upaya konservasi, diversifikasi energi, dan hemat energi. Bertolak dari kenyataan tersebut, Pemerintah mendorong peran aktif masyarakat Indonesia untuk menyadari akan pentingnya membangun ketahanan energi melalui konservasi dan diversifikasi energi dalam pengelolaan energi.


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Pembantu Presiden melaksanakan kebijakan umum dan pelaksanaan di bidang energi dan sumber daya mineral, telah menetapkan “Penghargaan Energi” bagi Unsur Masyarakat (Perseorangan atau Kelompok), Perusahaan (Nasional/Daerah/Asing), serta Instansi Pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) sebagai apresiasi atas jasa besarnya dalam melakukan kegiatan usaha pengembangan, penyediaan, dan pemanfaatan energi dengan prinsip konservasi dan diversifikasi yang menghasilkan produk nyata secara fisik sebagai hasil inovasi dan pengembangan teknologi baru. Penghargaan Energi adalah penghargaan di bidang energi yang diberikan kepada Pemangku Kepentingan yang berjasa luar biasa melakukan kegiatan usaha pengembangan, penyediaan, dan pemanfaatan energi dengan prinsip Konservasi Energi dan/atau Diversifikasi Energi melalui kebijakan/regulasi, kegiatan, dan/atau produk nyata secara fisik sebagai hasil inovasi dan pengembangan teknologi baru yang berdampak besar terhadap pembangunan maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, peran dan kinerja sektor energi dan sumber daya mineral, dan/atau bangsa dan negara

Kegiatan yang telah dilaksanakan sejak tahun 2011 ini memberikan Penghargaan dalam beberapa kategori, yaitu : 
  • Penghargaan Energi Prakarsa diberikan kepada Perorangan maupun Kelompok Masyarakat yang berjasa luar biasa dan dapat dijadikan panutan, pelopor serta memiliki komitmen yang tinggi untuk berpartisipasi aktif mengkampanyekan secara terus menerus dan/atau melakukan kegiatan usaha pengembangan, penyediaan dan pemanfaatan energi dengan prinsip konservasi dan/atau diversifikasi, sehingga terwujud produk nyata secara fisik yang merupakan hasil inovasi dan pengembangan teknologi baru, berdampak besar dan positif terhadap pembangunan maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar dalam pengelolaan energi yang berkelanjutan dan efisien. 
  • Penghargaan Energi Pratama diberikan kepada Perusahaan Nasional/ Daerah atau Asing yang berjasa luar biasa dan memiliki komitmen yang tinggi untuk berpartisipasi aktif sebagai korporat yang melakukan, memberikan sumbangan nyata dalam hal pengembangan teknologi baru, inovasi, penyediaan dan pemanfaatan energi dengan prinsip konservasi dan/atau diversifikasi, sehingga terwujud produk nyata secara fisik untuk operasi Perusahaan sendiri serta berdampak besar terhadap pembangunan maupun peningkatan peran dan kinerja sektor energi dan sumber daya mineral dalam pengelolaan energi yang berkelanjutan dan efisien. 
  • Penghargaan Energi Prabawa diberikan kepada Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang berjasa luar biasa dan dapat dijadikan panutan, pelopor serta memiliki komitmen yang tinggi dalam memacu program dan kegiatan usaha pengembangan, penyediaan dan pemanfaatan energi dengan prinsip konservasi dan/atau diversifikasi melalui kebijakan/regulasi, sehingga terwujud produk nyata secara fisik yang merupakan hasil inovasi dan pengembangan teknologi baru, berdampak besar dan positif terhadap pembangunan maupun peningkatan peran dan kinerja sektor energi dan sumber daya mineral, bangsa, dan negara dalam pengelolaan energi yang berkelanjutan dan efisien. 
Alhamdulillah, pada Penghargaan Energi Tahun 2014 ini, Lembaga Energi Hijau mendapat nominasi sebagai Calon Penerima Penghargaan Energi Kategori Penghargaan Energi Prakarsa (Kelompok) dengan program "Kampung Energi".  Hal ini sangat membanggakan hati dan menjadikan motivasi bagi Lembaga Energi Hijau untuk lebih mengembangkan lagi upaya-upaya pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan, pelestarian lingkungan maupun kesejahteraan masyarakat penerima manfaat. 


Daftar calon penerima Penghargaan Energi 2014 dapat diklik di sini

Source : Penghargaan Energi Litbang ESDM 

Minggu, 15 Juni 2014

Lubuk Tajau Telah Merdeka



Penduduk Desa Lubuk Tajau segera menggelar syukuran atas menyalanya lampu bertenaga air yang populer disebut Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).  Banyak dari mereka masih kurang percaya bahwa jerih payah keringat dan uang yang mereka ‘investasikan’ selama ini berbuah nyata. Ya! Keberhasilan pembangunan PLTMH sangat bergantung pada swadaya yang mereka berikan berupa material lokal, tenaga dan uang. Sudah dua malam ini desa mereka terang sepanjang malam.  Hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi bahkan sejak Indonesia merdeka. Euforia kegembiraan masih kental terasa siang itu di bendungan intake PLTMH yang telah mereka bangun sendiri. Puluhan lemang dihidangkan.  Lemang adalah penganan khas dari ketan dicampur santan yang dibakar di dalam tabung bambu. Ayam bakar dan telur rebus menemaninya. Tentu tak lengkap tanpa tuak yang edarkan untuk diteguk secara bersama-sama.

 Membakar lemang
 
 Lemang dan lauk-pauk tanda syukur

Wajar jika penduduk desa menumpahkan kegembiraan mereka. Mengingat sejak awal program Kampung Energi yang di fasilitasi oleh Lembaga Energi Hijau mendapat tantangan dari sebagian mereka yang lebih menginginkan PLN hadir di sini. Baca : Pilih PLN atau PLTMH?. Ternyata pilihan mereka terhadap PLTMH akhirnya tepat jika melihat kenyataan bahwa hingga sekarangpun tidak ada kepastian dari berbagai pihak mengenai masuknya perusahan listrik negara tersebut di desa - entah sampai kapan.

Lubuk Tajau yang kini telah mandiri energi listrik merupakan salah satu dari ribuan pemukiman terpencil di Kalimantan Barat yang masih belum memiliki akses listrik negara.  Memilih PLTMH sebagai alternatif energi listrik harus mendapatkan prioritas dan dukungan dari semua pihak.  Apalagi jika dampak yang ditimbulkan oleh sebuah pembangunan PLTMH sangat menyentuh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat di perdesaan.  Baca : Kearifan Lokal Menuju Kemandirian Energi.
 
Menyalakan listrik menggunakan turbin air

Sekarang menjadi tugas seluruh penduduk desa untuk memastikan bahwa PLTMH yang telah berhasil dibangun mampu lestari beroperasi dan mendatangkan manfaat bagi mereka. Lestarinya PLTMH tentu bertumpu pada lestarinya air sebagai ‘bahan bakar’ utama penggerak generator 50 kV yang mereka miliki. Lestarinya air tidak terpisahkan dari lestarinya kawasan hutan sebagai pundi-pundi penyimpanan air di sepanjang musim. Sehingga slogan sederhana yang berbunyi  ‘Hutan Hilang – Air Pergi, Air Pergi – Listrik Mati’ akan dijadikan landasan dan tanpa disadari mereka telah menjadi relawan di barisan terdepan dalam upaya-upaya pelestarian hutan dan lingkungan.  Selamat menikmati malam-malam yang terang bagi seluruh penduduk desa Lubuk Tajau.  Semoga kehadiran PLTMH dapat lebih mensejahterakan dan membawa banyak harapan bagi semua pihak dan negeri ini.

Sabtu, 14 Juni 2014

Kearifan Lokal Menuju Kemandirian Energi

Di era globalisasi ini kebutuhan akan listrik sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sejalan dengan perkembangan sosial, budaya dan ekonomi serta informasi, energi listrik telah menjadi salah satu kebutuhan pokok. Ya! Tak dapat dipungkiri bahwa energi listrik mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial dan ekonomi.

Namun kemampuan Negara melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN), untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh penduduk Indonesia adalah problem lama yang sepertinya juga akan lama untuk penyelesaiannya. Dibatasi dengan kapasitas listrik yang tersedia ditambah dengan rentang jarak dan tofografi pemukiman penduduk, alhasil hingga saat ini masih ada 10.211 desa di republik ini yang sama sekali belum mencicipi hangatnya listrik negara (Detik.com 13/6/13). Di sisi lain Indonesia secara umum mememenuhi kebutuhan energi listrik dari minyak bumi dan batu bara, dengan persediaan yang semakin menipis dan harga yang semakin tinggi dapat dikatakan bahwa hal ini berpeluang  pada terjadinya krisis energi.

Salah satu sudut desa terpencil tanpa akses listrik negara

Sebenarnya ada banyak pilihan bagi desa-desa yang belum menikmati listrik PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka sendiri.  Dan yang paling mudah adalah dengan genset (generator set) bertenaga diesel. Alat peminum solar ini tidak sulit diperoleh di pasar manapun hingga di kecamatan terpencil. Meskipun akhirnya mereka mendapatkan listrik, namun kemudahan ini harus diimbali dengan tidak murah. Selain hanya golongan masyarakat yang mampu saja yang membeli, harga BBM solar yang dapat mencapai hingga 3 (Tiga) kali lipat dari harga resmi SPBU otomatis akan berbuah pada biaya operasional yang mahal. Pun terkadang solar sulit didapat.  Sungguh ironis dengan kenyataan bahwa sebenarnya warga negara seperti merekalah yang paling berhak menerima subsidi BBM.  Alhasil untuk menghemat BBM, listrik hanya dinyalakan maksimal 2 atau 3 jam setiap malamnya.  Walau kenyataannya lebih banyak mereka menjalani malam dalam kegelapan sebab tak mampu membeli solar atau solar ‘menghilang’.

Maka adanya alternatif penyediaan energi listrik bagi masyarakat perdesaan adalah keniscayaan. Dan energi alternatif yang patut di kembangkan adalah PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang memanfaatkan sumber daya alam berupa terjunan air. PLTMH dijadikan pilihan karena rerata pemukiman di daerah terpencil banyak memiliki potensi air. Memang biaya investasi untuk membangun PLTMH  berbanding dengan jumlah  penerima manfaat dirasakan mahal saat ini, sehingga banyak potensi yang belum termanfaatkan. Namun jika dikaji lebih jauh, biaya investasi tersebut sebenarnya memberikan hasil  yang tidak ternilai. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan akan terasa kecil dibandingkan dengan dampak yang begitu besar bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat penerima manfaat di perdesaan.

Potensi hidrolika yang masih termanfaatkan

Salah satu yang tidak dapat dipungkiri adalah kesadaran akan ketersediaan air sebagai sumber tenaga penggerak PLTMH.  Pemahaman akan kontinuitas air berbanding lurus dengan keharusan lestarinya hutan sebagai kawasan penyangga air telah berhasil merasuki pikiran mereka yang merasakan manfaat PLTMH.  Konservasi daerah aliran sungai secara sadar dilakukan demi menjamin debit air yang stabil sepanjang tahun. Pada beberapa tempat bahkan diterapkan aturan adat guna mengamankan kawasan hutan.  Memang adat terbukti efektif. Tidak ada lagi yang berani membuka lahan untuk berladang di kawasan konservasi bahkan untuk menebang sebatang pohon. Lahan terbuka bekas ladang lama segera dihutankan kembali. Meskipun begitu bukan berarti hutan menjadi terlarang untuk dimanfaatkan. Menggalakkan pemanfaatan hutan selain kayu atau yang populer disebut Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menjadi primadona. Hasil hutan seperti rotan, bambu, buah-buahan atau madu hingga perikanan air tawar yang selama ini kurang tergarap menjadi bernilai ekonomis karena dibarengi dengan pelatihan-pelatihan ketrampilan untuk memanfaatkannya.

Swadaya masyarakat diperlukan untuk menekan biaya pembangunan PLTMH. Material lokal seperti batu, pasir dan kayu diadakan secara gotong royong. Tenaga kerja diatur sedemikian rupa sehingga terbentuk kelompok-kelompok kerja yang akan turun secara bergiliran sehingga tidak akan mengganggu hari kerja mereka dalam mencari nafkah. Jangka waktu pembangunan PLTMH yang rerata berlangsung hingga 4 (empat) lamanya menjadikan swadaya sebagai perekat yang kuat bagi harmonisasi hubungan antar individu masyarakat. Seluruh pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, permasalahan dan kendala yang dihadapi dirembugkan dan dicari jalan pemecahannya secara bersama pula.  Keinginan untuk menyukseskan pembangunan PLTMH menjadi serentak pula. Kebersamaan sejak progress pekerjaan 0% hingga mencapai 100% berhasil pula merapatkan jejari hubungan sosial kemasyarakatan yang cenderung melonggar.

 Swadaya bersama untuk mencapai tujuan

Pengetahuan mengenai skema PLTMH perlahan mulai terpateri.  Sejak dari pembangunan bendungan intake, saluran pembawa, pipa pesat, turbin pembangkit listrik, rumah turbin, kabel transmisi listrik hingga instalasi listrik di dalam rumah semua dikerjakan oleh masyarakat dibawah bimbingan seorang tenaga ahli.  Tak terbayangkan sebelumnya bagi mereka bagaimana caranya membendung sungai yang deras.  Namun sekarang mereka memiliki ketrampilan tersebut.  Demilkian pula dengan hal-hal yang terkait dengan kelistrikan seperti memasang dan menyambung kabel secara benar dan aman.

PLTMH terbukti murah dalam pengoperasiannya, karena tidak memerlukan BBM. Listrik yang tersedia sepanjang waktu tentu memicu geliat kegiatan ekonomi produktif. Masyarakat setempat mendapatkan sumber listrik untuk mendukung akses informasi dan peningkatan ekonomi produktif rumah tangga. Hal ini akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat.  Dan tak kalah penting adalah penghematan yang cukup besar dengan digantikannya genset oleh PLTMH.  Jika hitung dari jumlah genset yang diistirahatkan maka rerata setiap desa penerima manfaat PLTMH berhasil menghemat solar sebanyak 3.000 liter per bulan.  Jika diuangkan dengan harga jual solar Rp. 14.000,- di desa ada Rp. 42.000.000,- perdesa setiap bulannya yang mampu di hemat. Pengeluaran yang berkurang untuk solar ini tentunya dapat dialokasikan untuk pendidikan atau kesehatan masyarakat. Selain berhasil menghemat BBM yang berarti turut mendukung program pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, PLTMH secara tidak langsung juga berhasil mengurangi polusi udara dan polusi suara yang ditimbulkan oleh genset selama ini.

Bahwa bagian terpenting dari keberhasilan pembangunan PLTMH justru terletak pada pelestariannya sangat dipahami oleh masyarakat. Terbentuknya badan pengelola PLTMH harus dipastikan untuk menjamin hal tersebut.  Badan Pengelola haruslah terdiri dari orang-orang pilihan dan dipilih sendiri oleh masyarakat. Pelatihan-pelatihan diberikan bahkan sejak pembangunan PLTMH baru dimulai. Keterampilan mengenai adminsitrasi hingga pengoperasian dan pemeliharaan PLTMH ditularkan secara permanen.  Aturan dan sanksi dibuat dan diterapkan bersama. Munculnya iuran merupakan konsekuensi bagi penerima manfaat listrik. Iuran yang terhimpun dipergunakan untuk biaya operasional seperti honor pengurus dan sisanya ditabung sebagai cadangan jika terjadi kerusakan pada skema PLTMH. Sehingga masyarakat menjadi mandiri dalam pengelolaan dan pelestarian PLTMH.

Hal lain yang tidak kalah penting dari semua yang tersebut di atas adalah kemandirian energi listrik mampu menumbuhkan rasa setara bagi masyarakat desa akan akses listrik yang murah. PLTMH turut membantu pemerintah bagi penyediaan listrik di daerah-daerah terpencil yang sulit terjangkau oleh PLN. Slogan “Hutan Hilang – Air Pergi, Air Pergi – Listrik Mati” menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat penerima manfaat untuk bergiat melakukan pelestarian hutan sebagai kawasan penyangga air.  PLTMH patut dipandang sebagai pintu masuk bagi upaya-upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan perlindungan lingkungan sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat.   Pembangunan PLTMH ternyata banyak memuat nilai-nilai kearifan lokal dan berhasil menjadikan desa sebagai basis energi listrik mandiri. Maka jika Pemerintah dan pihak peduli lainnya fokus membangun titik-titik basis energi listrik mandiri lainnya, permasalahan penyediaan listrik bagi daerah-daerah terpencil sepertinya akan dapat teratasi.

Jumat, 02 Mei 2014

Indonesia Merdeka Sekali Lagi Karena Listrik


Seseorang memekikkan kata "Merdeka!!!". Disambut teriakan yang sama oleh sekelompok orang sambil mengangkat tangan yang dikepalkan dengan bersemangat. Mereka yang pagi itu berkerumun di rumah turbin patut merasa 'merdeka' manakala ujicoba pertama kali PLTMH berhasil menyalakan lampu di dusun mereka yang terpencil ini. Setelah menunggu puluhan tahun lamanya semenjak negara tercinta ini dinyatakan merdeka, barulah sekarang mereka mencicipi nikmatnya penerangan listrik semalam suntuk. Betapa sangka, dikarenakan kondisi lokasi nan terpencil, bahkan tidak dalam 10 tahun kedepan PLN akan masuk ke daerah ini. Tak heran jika kemudian mereka menancapkan bendera merah putih di bendungan dekat rumah turbin untuk memproklamirkannya.

Sejak awal tahun 2014 ini, sebanyak 97 KK penduduk Dusun Sebeneh yang di Desa Sungkung Akit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat ini sudah boleh merasa sejajar dengan desa-desa lain yang memiliki akses listrik PLN.  PLTMH berkekuatan 30 kW berhasil dibangun di dusun yang terletak di tepi pagar perbatasan Malaysia ini. Bersumber dari dana PNPM-MPd dan swadaya masyarakat, dengan fasilitasi dari Lembaga Energi Hijau berhasil mewujudkan mimpi mereka akan akses terhadap listrik.

Semoga desa-desa lain di negeri tercinta ini yang belum "merdeka" listrik, juga segera mendapatkan hak untuk menikmati listrik secara murah dan terjangkau.

Baca juga : PLTMH Senebeh

Menaikkan bendera di bendungan tanda "Merdeka"

Terletak di tepi pagar negara tetangga Malaysia

Turbin PLTMH type Crossflow.

Minggu, 16 Februari 2014

Ayo! Bangun PLTMH di Kalimantan Barat

Hingga saat ini masih ada 779 Desa terpencil di Kalimantan Barat yang belum memiliki akses listrik PLN (Pontianak Post 19/08/13).  Penyebab terbesar adalah kondisi topografi pedalaman Kalimantan Barat yang jauh dan sulit terjangkau selain dari ketersediaan daya listrik daerah yang belum memadai.
Menggantungkan kebutuhan listrik rumah tangga pada genset tenaga diesel berbahan bakar solar memang mudah, tapi tidak murah. Sebagian besar penduduk desa tidak mampu untuk membeli genset.  Kalaupun ada yang mampu, pasti kesulitan untuk membeli solar yang mahal dan kadang-kadang langka di desa mereka.  Mengharapkan jaringan listrik PLN masuk atau melintasi desa mereka terasa jauh diawang-awang, bahkan tidak dalam waktu 10 tahun ke depan.  Miris!
Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa Kalimantan Barat memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah dan dapat dijadikan energi alternatif pengganti listrik atau biasa diistilahkan dengan Energi Terbarukan. Potensi berupa air terjun yang banyak terdapat di daerah perhuluan inilah yang menjadi tenaga penggerak Permbangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Kalaupun ada yang hendak memanfaatkan potensi ini biasanya terbentur dengan pengetahuan teknologi atau biaya yang relatif mahal.  Kondisi seperti inilah yang menyebabkan Lembaga Energi Hijau (LEH) merasa terpanggil untuk membantu saudara-saudara kita yang tidak memiliki akses PLN namun memiliki potensi air terjun.
Sesuai dengan visi dan misinya, LEH akan memfasilitasi daerah atau desa/dusun yang hendak membangun PLTMH.  Desain awal PLTMH sangat tergantung pada debit air dan tinggi jatuh terjunan.  LEH akan melakukan survey pendahuluan untuk memastikan kelayakan potensi air. PLTMH baru akan dibangun jika potensi air dinyatakan layak oleh Tim survey. Sumber biaya pembangunan PLTMH pun dapat disusun dalam beberapa skema pendanaan seperti dari APBD setempat, Hibah dari Lembaga Donor, Pinjaman dari Lembaga Keuangan Lokal/CU, Swadaya masyarakat atau kombinasi dari sumber-sumber tersebut.
Namun hal terbaik dari terbangunnya sebuah PLTMH selain dari terpenuhinya akses listrik murah bagi masyarakat desa adalah terbukanya pintu masuk bagi upaya-upaya kelestarian alam dan kenekaragaman hayati. Slogan khas LEH yaitu : "Hutan Hilang - Air Pergi, Air Pergi -Listrik Mati" akan melecut semangat untuk menjaga hutan sebagai benteng terakhir tersedianya air sepanjang tahun di desa-desa bahkan hingga ke hilirnya.
Ayo! Bangun PLTMH di Kalimantan Barat.  Mari dukung pembangunan PLTMH di daerah-daerah terpencil.  Hubungi Lembaga Energi Hijau. Hp. 081345039789 /081345719119 /08125758969. Email : lembagaenergihijau@yahoo.com.

Ketersedian air sepanjang tahun 

Debit air dan beda tinggi

Kelayakan potensi air terjun

Pengumpulan data dan pengukuran lapangan

 Pengukuran debit air secara detail

Turbin PLTMH